Next Post

Polemik Pupuk Yang Tidak Ada Hentinya, Mulai Kebutuhan dan Juga Alokasi Yang Tak Seimbang

IMG_20240201_193837_11zon

OPINI – Kebijakan pemerintah Indonesia memberikan pupuk bersubsidi pada petani kecil – miskin adalah bentuk keberpihakan negara. Subsidi pupuk sedikit meringankan biaya produksi. Selain subsidi pupuk, tentu ada faktor lain yang menentukan hasil dan produktifitas pertanian sehingga perlu realokasi sumberdaya untuk investasi barang-barang publik pertanian lain misalnya irigasi, layanan pemasaran, layanan penyuluhan, penelitian dan pengembangan serta dukungan kebijakan harga bawah dan harga atas, harga pembelian pemerintah (HPP), kebijakan pengendalian impor pangan, kebijakan asuransi usaha tani serta kebijakan reforma agraria untuk merombak struktur penguasaan tanah, oleh karena rata-rata penguasaan tanah petani di Indonesia hanya 0,3-05 ha.

 

Pupuk subsidi selalu bermasalah, sejak pertama kali diperkenalkan tahun 1970 sebagai respon atas “Revolusi Hijau”. Pertama, kelangkaan saat musim tanam karena kuota subsidi lebih kecil dari kebutuhan petani.

Kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57 sampai 26,18 juta ton atau senilai Rp 63-65 triliun dalam lima tahun terakhir. Tetapi, pemerintah hanya mampu mengalokasikan anggaran Rp 25-32 triliun untuk alokasi pupuk 8,87 juta ton – 9,55 juta ton atau hanya terpebuhi 37 – 42 persen dari total kebutuhan petani.

Sebagai informasi di tahun 2021, penyaluran pupuk bersubsidi yang terealisasi mencapai 7,76 juta ton, atau 88,45% dari target 8,78 juta ton. Sedangkan realisasi anggaran subsidi pupuk mencapai 93,45% dari pagu sebesar Rp 29,05 triliun. Di tahun 2022, alokasi anggaran pupuk bersubsidi mencapai Rp 25,28 triliun untuk 9,11 juta ton pupuk. Dan di tahun 2023 alokasi pupuk bersubsidi dtetapkan 6,05 juta ton, dengan rincian pupuk urea 3,7 juta ton dan NPK 2,34 juta ton, dengan nilai subsidi mencapai Rp 42,1 Triliun.

 

Antara kebutuhan dari petani 100%, sementara yang bisa dipenuhi hanya 35 %, maka jelas tidak sebanding antara permintaan dan penawaran. Saat keterbatasan alokasi, penyalurannya pun masih lebih banyak terarah untuk petani padi. Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk program subsidi pupuk, baik fiskal dan ekonomi lebih besar dari pada manfaat yang dicapai dalam produksi. Dan ini sudah dikeluhkan pemerintah sejak era SBY, dimana Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan subsidi pupuk puluhan triliun tidak sebanding dengan hasil. Hal yang kemudian disampaikan Presiden Joko Widodo pada 12 Januari 2021 yang kesal terhadap program pupuk bersubsidi menghabiskan  triliun an tetapi hasilnya tidak setimpal.

 

Kedua, sering ditemukan di lapangan terjadi keterlambatan penginputan data petani di sistem e-RDKPP, sehingga panyaluran pupuk bersubsidi pun terlambat. Petani sudah mau menanam pupuk tidak tersedia.

 

Ketiga, penerima pupuk bersubsidi salah sasaran, seharusnya petani  kecil tetapi yang mendapatkannya adalah petani dengan luas lahan diatas 2 ha terdaftar dalam e-RDKK. Sekitar 65% petani kecil (lahan dibawah 0,75 ha) hanya menerima 3% subsidi pupuk, sedangkan sisanya dinikmati petani kaya. Dan  lagi banyak nama petani yang sudah meninggal dikatakan masih aktif bertani, non petani dikatakan petani, pindah alamat ke kabupaten/kota lain namun masih terdata sebagai petani sehingga mendapatkan jatah pupuk subsidi dan sebagainya.

 

Keempat, mafia pupuk subsidi dengan mempermainkan dan mengambil keuntungan besar, ada perbedaan harga yang cukup besar antara HET pupuk bersubsidi dengan harga pupuk non subsidi. Contoh HET Urea sebesar Rp. 2.250/kg, sementara non subsidi Rp 12.000/kg, mafia bisa menjualnya Rp. 5000 – Rp. 8.000/kg bahkan bisa lebih lagi. Peluang terbesar permainan semacam ini ada pada level pengecer karena pengawasannya relatif longgar dibandingkan distributor.

 

Contoh konkrit peristiwa semacam ini terlihat dari temuan Satgas Pangan Mabes Polri di wilayah distribusi Mauk dan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Dua tersangka kasus penyalahgunaan ini adalah pemilik Kios Pupuk Lengkap (KPL). Modusnya berbekal sistem elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok (e-RDKK) yang terdapat daftar penerima fiktif. Bahkan, terdapat penerima yang sudah meninggal dunia (sumber: Polri Tangkap 2 Tersangka Kasus Pupuk Bersubsidi, Rugikan Negara Rp 30 Miliar – Nasional Tempo.co).

 

Kelima, petani kadang mengeluhkan pupuk yang mereka terima tidak memenuhi prinsip 6T yakni tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu sebagaimana dijelaskan dalam Permendag Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.

 

Lima permasalahan diatas sejalan dengan temuan Ombudsman RI sebagaimana terwartakan di Siaran Pers Nomor 055/HM.01/XI/2021 Selasa, 30 November 2021 terdapat lima potensi mal administrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi yaitu: tidak dituangkannya kriteria secara detil petani penerima pupuk bersubsidi dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021. Padahal rujukan Undang-Undang (UU) yang mengatur secara langsung pupuk bersubsidi adalah UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, serta UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, ditemukan ketidakakuratan data petani penerima pupuk bersubsidi.

Ditulis oleh : Jatmiko mahasiswa fakultas ilmu hukum universitas sunan bonang

Newsantara

Related posts

Newsletter

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.

ban11

Recent News